Minggu, 06 November 2011

Tapak Bimo


Musim penghujan tiba, sudah empat hari ini Madiun diguyur hujan. Aku sudah memprediksi bahwa cuaca pasti akan sedikit mengganggu acara camping ke Tapak Bimo, tapi walau bagaimanapun jadwal telah ditentukan jadi harus tetap semangat.

Sabtu, 29 Oktober 2011
Cuaca tampak mendung, sejak tadi pagi matahari terlihat malu-malu untuk menampakkan diri sedangkan siang ini kami harus naik ke Manyutan atau yang sering disebut Tapak Bimo. Gunung ini tidak terlalu tinggi sih.. ketinggiannya hanya 1.565 M, puncak ini merupakan salah satu bagian pegunungan wilis yang berada di sisi wilis sebelah barat (wilayah Madiun) dan pendakian bisa dimulai dari desa Mendak Kec. Dagangan Kab. Madiun. Di sisi utara Tapak Bimo terdapat hutan lindung yang sangat indah bila dilihat dari atas, di sebelah timur terdapat air terjun Toyomerto (Selorejo), sedangkan sebelah selatan terdapat telaga Ngebel yang merupakan kawasan wisata andalan Kab. Ponorogo. Satwa yang masih banyak terdapat disana adalah monyet, bajing, ayam hutan, dan juga berbagai jenis burung. Di sekitar puncak juga banyak ditemui lubang-lubang Jepang, Goa Jepang, dan juga Balung Buto yang konon katanya adalah balung (tulang) yang berukuran sangat besar sehingga masyarakat sekitar menyebutnya sebagai Balung Buto (tulang raksasa).

Sepulang kerja Mas Eko datang ke rumahku dengan perlengkapannya, lalu kami mulai packing di teras rumah sambil menunggu teman-teman lain datang. Hp ku berkali-kali berbunyi menerima sms dari Anom yang mengatakan tidak jadi ikut, Dia bilang takut kalau nantinya hanya akan menyusahkan tim, karena langit memang mendung sedangkan ini adalah pengalaman mendaki pertamanya belum lagi peralatannya yang kurang lengkap. Ya maklum saja dia punya keraguan itu, dia adalah anggota termuda tim kami dan masih berstatus pelajar kelas 1 SMA. Aku terus menyemangatinya dan memastikan bahwa semua akan baik-baik saja hingga keraguannya akhirnya sirna dan memutuskan tetap ikut dalam petualangan ini. Aku hanya merasa sayang kalau dia sampai batal ikut, karena pada awalnya dia yang paling semangat untuk melakukan pendakian ini.

Aku, Mas Eko, dan Anom sudah siap dengan perlengkapan kami masing-masing tapi anggota tim lainnya yaitu Farid, Fandhi, dan Adnash belum juga datang padahal waktu sudah molor lebih satu jam dari jadwal yang telah ditentukan, Akhirnya hal yang aku takutkan datang juga, saat tiga teman lain datang pas hujan mulai turun dengan derasnya. Sebenarnya hal ini sedikit membuat aku malas karena bila berangkat terlalu sore pasti kami akan kemalaman dan rencana foto siluetku saat senja pasti akan gagal. Hmm,, lain kali jangan diulangi ya teman-teman jam karet kayak gini.

Selang berapa lama hujan berhenti dan langsung saja kami berangkat menuju desa Mendak. Sampai di tengah perjalanan lagi-lagi hujan turun, membuat basah kuyub karena sebagian memutuskan tetap ngebut dan tidak memakai jas hujannya. Sekitar pukul 15.30 WIB kami sampai dirumah Pak Kamituo Mendak, hujanpun berhenti, motor kami titipkan disana dan tak menunggu lama segera berangkat untuk menghindari kemalaman sampai di puncak.
 

Kami menyusuri jalan aspal desa untuk menuju tempat awal pendakian, lalu berhenti di sebuah jembatan yang merupakan batas antara Kab. Madiun dan Kab. Ponorogo, melakukan briefing sebentar dan doa disana. Jalur yang dipilih memang tidak terlalu terjal karena mayoritas anggota tim belum pernah punya pengalaman mendaki, hanya aku dan mas eko saja yang punya pengalaman mendaki.


Pendakian kami mulai dari hutan pinus yang bercampur dengan tanaman ketela pohon dan lamtoro. Sepanjang perjalanan banyak sekali dijumpai pohon tumbang yang melintang, menghalangi jalan setapak yang kami lalui. Semakin keatas medan terasa semakin berat menanjak, jalur yang kami pilih yang kami kira lebih landai ternyata juga sangat menanjak sampai di seperempat perjalanannya, membuat kami harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mendaki. Aku menggantikan tas carrier yang dibawa Farid, sementara Mas Eko yang tadi carrier-nya sempat digantikan oleh Fandhi kini carrier itu sudah balik lagi ke punggungnya..:D hahaha,, payah memang fisik mereka padahal sih rencanaku sama Mas Eko mau mengerjai mereka yang baru pertama mendaki dengan memberi carrier besar untuk mereka bawa. Tapi akhirnya aku dan mas Eko gak tega juga... 
Jalur yang tersamar rumput dan sebagian hilang menandakan daerah tersebut sudah lama tidak dilalui orang, selain itu tanah juga sangat licin setelah diguyur hujan. Sandal sempat aku copot dan bertelanjang kaki daripada kesusahan karena jalan licin (harusnya sih pake sepatu :D) beberapa teman tampak mengikutiku, tapi akhirnya sandal kupakai lagi karena takut kakiku terkena duri. Kabut yang turun membuat tubuh kami semakin basah, selain basah oleh keringat kami sendiri. Setengah perjalanan melewati hutan pinus dan semak belukar, sekarang jalur berganti dengan hamparan alang-alang yang lebat dan menyamarkan jalur, tangan dan kaki kami terasa perih karena luka-luka goresan ilalang terkena keringat. Berkali-kali kami juga harus tersandung batang kayu yang melintang dan tak terlihat karena tertutup oleh lebatnya ilalang. Beberapa kali kepalaku juga terantuk batang kayu yang melintang saat melewati tanjakan terjal, karena hari yang mulai gelap dan aku terlalu fokus terhadap lebatnya ilalang di bawah kakiku hingga batang-batang yang melintang di atas kepala kadang tidak terlihat olehku, tas dan pakaianku juga berkali-kali kecantol pada ranting-ranting dan kayu.

Kami mempercepat perjalanan, tak ingin kemalaman sampai di puncak. Sementara suasana semakin gelap dan jalur semakin pekat oleh kabut. Tanjakan juga semakin tidak bersahabat, kami saling bahu-membahu melewati tiap tanjakan yang terjal.

Sekitar pukul 18.00 WIB kami tiba di puncak gunung Manyutan. Puncak yang penuh dengan alang-alang memaksa kami harus membabatnya untuk tempat mendirikan tenda. Aku segera mengeluarkan lampu charge untuk penerangan membangun tenda. lokasi sempit, rimbun dan gelap benar-benar menyulitkan pekerjaan kami. Beberapa kali tenda kami ubah posisinya, beberapa kali juga pasak kami bongkar kembali karena merasa bahwa tanah yang kami pasangi pasak kurang mendukung. Setelah bersusah payah akhirnya tenda berdiri. Teman-teman segera masuk kedalam tenda untuk beristirahat sementara aku dan Fandi yang masih diluar berusaha memanfaatkan beberapa kayu yang tadi kami bawa sebagai tongkat untuk membuat unggun. Kami membabat lagi alang-alang di dekat tenda dan membuat cekungan di tanah untuk tempat api unggun. Kabut yang turun dan keadaan kayu-kayu yang basah membuatnya sulit untuk dibakar. Aku hampir saja menyerah karena api sangat sulit menyala. Beberapa saat berkutat dengan api akhirnya ada tanda-tanda kayu bisa terbakar. Akupun bersemangat lagi, aku dan Fandi memutuskan turun untuk mencari kayu bakar tambahan, dalam perjalanan tadi banyak sekali pohon tumbang dan batang-batang kayu yang bisa dijadikan kayu bakar. Dan beruntung kami menemukan dahan pinus yang patah sementara daunnya yang masih lebat itu sudah mengering. Kami kembali dan mecoba membakar lagi kayu-kayu dengan menggunakan daun pinus kering tersebut dan hasilnya api menyala. 



Hangat api unggun membuat aku dan Fandi merasa tidak perlu mengenakan jaket malam itu. Dari Tapak Bimo di kejauhan terlihat lampu-lampu dari kota Madiun juga kerlip lampu yang sangat panjang yang saya duga itu adalah jalan raya dari Madiun ke Ponorogo. Juga ada kerlip lampu yang sangat lurus dan lebar yang terlihat dan membuat aku penasaran. Bentuknya seperti lampu jalur landasan pesawat ketika akan mendarat kayak di film-film, tapi entahlah apa sebenarnya itu. Pemandangan yang indah membuat kami malas untuk beranjak ataupun masuk ke dalam tenda. Apalagi sesekali kabut menghilang dan bintang terlihat indah di atas kami. Mas Eko dan teman-teman lain memasak mie instant di dalam tenda sedangkan aku dan Fandi asyik menikmati unggun kami. Aku benar-benar merasa menikmati malam, semalaman aku hanya berada di dekat unggun dan tidak masuk tenda. Aku hanya sempat masuk tenda saat mengambil air minum dan kamera. Benar-benar hangat dan nyaman di dekat unggun ditemani pemandangan yang indah. Adnash juga ikut keluar tenda dan menikmati unggun bersama aku dan Fandi. Beberapa kali kami terpaksa turun lagi mencari kayu untuk bahan bakar unggun. Terakhir kami turun mencari kayu saat aku dan Fandi menemukan dahan besar yang tumbang yang kami perkirakan cukup untuk persediaan sampai pagi. Dahan itu cukup besar hingga Fandi harus memikul untuk mengangkatnya. Sementara teman-teman lain sudah tertidur pulas di dalam tenda karena kecapekan. Fandi mengambil ponco-nya untuk alas kami tidur di dekat api unggun. Kami terus berbincang hingga hampir tengah malam ketika teman-teman di dalam tenda bangun. Anom ikut keluar dan mengobrol bersama kami, sementara mas Eko dan Farid asyik bermain kartu di dalam tenda. Saat tengah malam Adnash akhirnya tidak kuat untuk menahan rasa ngantuk dan lelah, dia masuk dan tidur dalam tenda beberapa saat kemudian Fandi menyusul. Aku dan Anom tidur diluar sementara empat orang lainnya tidur di dalam tenda. Aku terbangun ketika merasa udara sedikit dingin, ternyata unggun kami mati. Dengan susah payah aku berusaha menghidupkannya kembali dengan cara kutiup-tiup bara yang tersisa dan bantuan lilin untuk mempercepat kayu-kayu terbakar. Ada kejadian lucu, ketika aku meniup bara sekuat tenaga salah satu bara terbang dan mendarat di pantat Anom (Anom memang tidur dengan posisi membelakangi unggun / pantat yang menghadap unggun), aku panik dan kupukul-pukul pantatnya dengan keras untuk memadamkan bara, Jelas saja dia kaget dan meloncat dari tempatnya tidur, sementara dia kebingungan tidak tahu apa yang terjadi sambil melihat aku yang tertawa terpingkal-pingkal. (sampai saat aku menulis inipun aku masih tidak kuat menahan tawa membayangkan ekspresi wajah Anom pada waktu itu.. :D). malam itu sungguh mengasyikkan tubuhku terasa sangit karena asap unggun yang oleh angin dibagi rata ke arah kami semua belum lagi entah berapa banyak kami memonyongkan mulut untuk meniup-niup unggun.


Pagi datang, udara terasa segar. Aku dan teman-teman pergi melihat di sekeliling tenda, Mas Eko sibuk mencari sandalnya yang tadi malam entah tertinggal dimana. Di bawah tempat mendirikan tenda kami ternyata ada lokasi yang lebih datar dan sedikit lebih luas, tapi tadi malam tempat itu kami kira jurang dan baru kelihatan saat hari telah terang. Kami menghabiskan waktu untuk berfoto-foto dan melihat pemandangan yang menakjubkan. Beberapa Edelweiss terlihat berbunga di tebing-tebing curam, jumlahnya hanya sedikit, mungkin banyak berkurang karena kebakaran yang terjadi tiga tahunan ini. Telaga ngebel terlihat jelas dari atas juga waduk-waduk di kejauhan. Gunung Kukusan dan Gunung Cemoro terlihat sangat dekat, ada satu Gunung lagi kami lupa namanya puncak yang paling tinggi dan terdapat goa Jepang disana. Gunung Kukusan mempunyai bentuk yang sangat unik dan sangat mudah dikenali dari kejauhan. Jika kamu sedang dalam perjalanan arah Madiun – Ponorogo sesekali menegoklah kearah timur, bila cuaca cerah pasti akan terlihat gunung-gunung dan salah satunya ada yang berbentuk paling unik, yah,, itulah Gunung Kukusan. Apa mungkin karena bentuknya seperti kukusan ya sehingga namanya Gunung Kukusan?? Aku rasa sih tidak mirip. Hehehe..

Setelah membuat sarapan pagi dan kopi kami segera bersiap untuk turun, tenda kami bongkar, semua sampah yang kami bawa kami masukkan kantong plastik untuk kami bawa turun kembali. Semua kami packing kembali kedalam tas masing-masing.

Semua barang bawaan sudah masuk tas dan kami siap turun. Perjalanan turun terasa sulit karena ternyata jalan yang kami lalui petang kemarin sangatlah curam dan licin. Ditengah jalan kami sempat berhenti karena ada seekor ular kecil yang melintas dan bersembunyi di bawah pohon tumbang, kami takut kalau ternyata itu ular berbisa. Untungnya tidak terjadi apa-apa dan kami meneruskan perjalanan yang masih jauh. Perjalanan turun sama seperti kemarin, harus melewati alang-alang dan menahan perih karena goresannya yang terkena keringat, juga teman-teman lain yang kepayahan membawa carrier hingga akhirnya aku dan mas Eko lagi yang menggantikan mereka.

Jalan turun yang licin membuat teman-teman berkali-kali jatuh dan terpeleset. Farid yang berada tepat didepanku sudah tak terhitung lagi berapa banyak dia jatuh dan kadang menabrak pohon karena jalannya yang sudah oleng. Untuk mempercepat perjalanan kami memilih memotong jalur walaupun jalurnya lebih sulit. Aku sempat terpeleset dan jatuh sedangkan tas carrierku nyangkut diantara dua batang pohon yang kulalui dan membuatku kesulitan untuk bangun. aku yang dari tadi puas mentertawakan teman-teman lain yang pada jatuh kini ganti ditertawakan. Hahaha.. 
Di hutan pinus kami berjumpa dengan penduduk yang sedang mencari daun lamtoro untuk pakan ternak, dia menyapa kami dengan ramah dan sempat mempersilahkan kami mampir ke rumahnya. Kami terus berjalan hingga akhirnya sampai pada aspal desa dan jembatan saat kemarin berangkat. lalu langsung menuju ke rumah Pak Kamituo dimana motor dititipkan. Untung saja kami segera sampai di rumah pak kamituo karena hujan telah kembali turun.

Di rumah pak kamituo kami membersihkan diri, setelah itu berbincang-bincang dengan Mas Harjito anak Pak Kamituo, kopi hangat dan pisangpun langsung ludes saat disuguhkan. Kami semua berbagi cerita tentang pengalaman diatas. Lucu, tegang, capek, dan semua yang kami alami disana. Seorang pemuda desa  sempat datang dan ikut mengobrol bersama kami, menanyakan kondisi diatas dan berencana untuk menanami lagi Tapak Bimo dengan tanaman baru karena memang terlihat gundul setelah terbakar.

Saat tengah hari hujanpun berhenti dan kami bergegas pulang dengan membawa cerita dan pengalaman yang sangat seru dan mengasyikkan untuk diceritakan. 
"Telah mendaki Tapak Bimo dengan acara penanaman 1000 pohon dipandu oleh pemuda karang taruna dukuh morosowo Mendak". sms tersebut kami terima pada 31 Oktober 2011 sehari setelah mendaki di Tapak Bimo.  Semoga Wilis semakin hijau..
Foto-foto lainnya dapat dilihat di Foto - Foto Tapak Bimo